0

SMK bukan Sekolah Nomor Dua

> Ada stereotipe yang berkembang di masyarakat bahwa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) adalah sekolah nomor dua. Banyak orang tua siswa yang enggan mendaftarkan anaknya ke SMK karena SMK dirasa bukan sekolah favorit.

Dan kini, pernyataan SMK adalah sekolah nomor dua tergeser dengan sendirinya. Beberapa waktu lalu, SMK Negeri 1 Malang berhasil membuat mobil mewah dengan merek Esemka. Tak hanya mobil, laptop lokal buatan anak SMK pun tersedia. Hal itu belum termasuk produk-produk lain hasil racikan tangan-tangan terlatih anak-anak SMK lainnya.

Saya ingin berbagi sedikit pengalaman. Saya adalah lulusan SMK yang mengambil bidang farmasi. Sekolah saya adalah sekolah kecil yang hanya terdiri dari satu kelas tiap jenjangnya. Meski demikian, di SMK Farmasi, saya diajarkan berbagai keterampilan meracik obat-obatan. Dan betapa bahagianya saya ketika saya dapat membuat obat jerawat, obat batuk, minyak telon, dan obat-obatan lain yang dapat saya konsumsi sendiri. Bukan hanya itu, kami pun diajarkan manajemen industri farmasi. Hal tersebut berguna untuk kami yang ingin membuka toko obat sendiri. Meski mengkhususkan diri pada pendidikan keterampilan, kurikulum umum tak luput diajarkan di SMK. Hal tersebut akan mempermudah lulusan SMK yang ingin melanjutkan ke jenjang universitas.

Kali ini cerita lain. Baru-baru ini saya melakukan pemeriksaan darah di laboratorium. Saat itu, saya sangat terkejut karena yang mengambil darah saya adalah seorang gadis yang sangat muda berusia 18an. Hati saya sangsi, takut jika ia belum berpengalaman. Tak dinyana, caranya mengambil darah sangat profesional dan sama sekali tidak menyakitkan. Dan ternyata gadis itu baru satu bulan lulus dari SMK Kimia Analis.

Jika menilik dari berbagai prestasinya, lulusan SMK memang patut diperhitungkan. Sebagai rujukan, saat ini tercatat sudah lebih dari 100 SMK yang masuk dalam kategori SMK bertaraf internasional yang tersebar di Indonesia.

Tidak...tidak...saya menulis demikian bukan karena saya lulusan SMK. Terlepas dari itu semua, bagi saya, SMK bisa menjadi salah satu solusi negeri yang masih mengalami krisis kualitas SDM ini. Dengan adanya pendidikan keterampilan khusus, lulusan SMK tidak perlu takut menghadapi tantangan di luar sana, karena telah memiliki skill yang cukup. Jika pemerintah serius mengembangkan dan memperhatikan pendidikan SMK, saya yakin akan tercipta banyak entrepreneur muda yang dapat menghasilkan berbagai produk lokal berkualitas. Tentu saja kita tidak ingin selamanya bergantung pada produk asing, bukan?

Jadi sekarang, jangan pandang SMK dengan sebelah mata. Dunia ini tidak hanya membutuhkan orang-orang yang pandai matematika atau kimia, pandai menganalisis atau mengkritik, melainkan juga pandai mengaplikasikan ilmu teoritisnya dengan keterampilan bekerja.

Semoga saja, SMK selalu bisa menelurkan sumber daya yang berkualitas, produktif, terampil, dan siap pakai.

SMK bisa!


http://www.kompasiana.com/narita-indrastiti
0

Jangan Biarkan Sekolah Robot Tumbuh

> Indonesia patut bersyukur. Setelah Orde Baru tumbang, Indonesia memasuki babak baru yang dinamakan reformasi. Dalam masa reformasi ini, nilai-nilai demokrasi dikedepankan. Masyarakat pun memiliki akses memadai untuk menyalurkan aspirasinya. Masyarakat tidak perlu takut ditangkap TNI karena membicarakan Komunisme di depan umum. Sekarang, masyarakat bebas berdiskusi soal apapun, menyampaikan kekecewaannya kepada pemerintah secara langsung, bahkan dapat menentukan sendiri siapa yang layak jadi pemimpin mereka.

Namun selain patut disyukuri, kebebasan ini juga patut dikritisi. Nilai-nilai demokrasi yang menjadi darah dalam masa reformasi tidak berjalan beriringan dengan kematangan berfikir. Banyak orang yang menjadikan demokrasi sebagai senjata untuk melegalkan perbuatan anarki. Bahkan, kaum intelektual seperti mahasiswa kerap menjadi dalang perbuatan kekerasan yang mengatasnamakan demokrasi. Sungguh Ironis!

Jika sudah seperti ini, kita harus mencari akar permasalahannya. Sudahkah masyarakat Indonesia memahami nilai-nilai luhur demokrasi? Ataukah pemahaman mengenai demokrasi tersebut baru diserap sebatas kulit luarnya saja? Dan sudahkan pendidikan mengenai demokrasi diterapkan sejak dini?

Sebenarnya, pendidikan mengenai demokrasi harus menjadi komponen dasar yang diterapkan sejak kecil. Tidak dapat dipungkiri, sekolah menjadi sarana paling strategis untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi tersebut. Sehingga, ketika dewasa nanti, anak-anak sudah mampu memahami demokrasi hingga ke akarnya, bukan hanya demokrasi yang sebatas definisi dan tak diimbangi moral dan kecerdasan emosional.

Namun, sungguh disayangkan. Sistem pengajaran di Indonesia masih belum berasaskan demokrasi sepenuhnya. Masih banyak sekolah-sekolah yang menerapkan sistem satu arah dan menjadikan guru sebagai “pusat segalanya”. Seluruh materi disampaikan oleh guru. Sedangkan murid hanya datang, duduk, diam, menulis, dan mendengarkan. Sekolah-sekolah yang menerapkan cara pembelajaran bergaya robot ini harus mulai berubah. Pendidikan di Indonesia harus mengedepankan sistem dua arah yang menuntut siswanya memiliki kendali berpikir dalam menyampaikan pendapatnya. Pendidikan demokrasi tidak cukup “diselipkan” di mata pelajaran Kewarganegaraan, karena demokrasi itu bukan hanya soal teori, tetapi juga praktek.

Pada intinya, pemahaman mengenai demokrasi di sekolah harus menjadi prioritas. Jangan sampai kebebasan berkreasi dan berpendapat dibunuh oleh kediktaktoran sekolah. Jangan biarkan pula sekolah-sekolah yang menjadikan siswa sebagai robot tumbuh berkembang di Indonesia. Karena, hal tersebut bukan hanya akan mematikan kreatifitas berfikir, tetapi juga akan mematikan nilai-nilai luhur demokrasi yang telah diperjuangkan sejak awal.

Guru dan siswa harus menjadi partner yang saling membangun sehingga didapatkan kesamaan hak dan kewajiban. Karena sesungguhnya, Indonesia tidak hanya membutuhkan generasi yang cerdas secara akademis, tetapi juga cerdas secara moral dan cerdas dalam menyampaikan pendapatnya.
0

Kenali dan Cintai Negeri

>

gambar: internet

Kecantikan alam dan heterogenitas budaya yang dimiliki Indonesia membuatnya masuk dalam daftar negara yang layak dikunjungi para pelancong asing. Letaknya yang berada di cadar khatulistiwa membuat Indonesia memiliki begitu banyak hutan hijau dengan keanekaragaman hayati yang memesona.

Negeri yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah ruah ini memaksa dunia untuk menjulukinya sebagai The Super Biodiversity State. Data dari Walhi menunjukkan, hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Data kekayaan tersebut belum dijumlahkan dengan jutaan ton tembaga, emas, perak, serta ratusan ribu kubik minyak bumi dan gas yang terkandung di perut ibu pertiwi.


Wah, melihat data tersebut tentunya akan timbul kebanggan dalam diri kita sebagai penghuni negeri zamrud khatulistiwa ini. Namun di atas tanah subur dengan aset tak terhitung itu, kemiskinan masih menggelayuti wajah rakyat Indonesia. Akibat arogansi para pejabat pemerintahan, rakyat Indonesia harus membeli minyak yang berada di bawah tanah merah yang dipijaknya sendiri. Indonesia sebagai negeri agrari bahkan masih memerlukan impor beras. Ibu pertiwi pun menangis karena rakyatnya bagai tikus mati di lumbung padi.


Bangsa asing memonopoli kekayaan kita dan merdeka di atas penderitaan rakyat Indonesia. Keadaan ini dibiarkan menjamur begitu lama sehingga membuat ekonomi Indonesia pincang dan bergantung pada suplai dana asing. Ketika kondisi Indonesia terpuruk, kabar lain datang dari negara serumpun kita, Malaysia. Tanpa permisi, Negeri Jiran tersebut mencaplok berbagai kebudayaan Indonesia seperti batik, reog ponorogo, tari pendet, bahkan beberapa kepulauan Indonesia.


Melihat masalah ini, tidaklah bijak jika kita hanya menyalahkan satu pihak saja. Masyarakat pun perlu berkaca diri. Masuknya kebudayaan asing ke Indonesia seolah membutakan mata rakyat dari kenyataan yang ada. Bukannya melestarikan kebudayaan sendiri, masyarakat justru termanjakan dengan budaya populer yang dirasa lebih modern.


Sebenarnya tidak pernah ada kata terlambat untuk berbenah. Masyarakat dan pemerintah perlu menjalin suatu kerjasama untuk melindungi aset-aset berharga republik ini. Jangan biarkan ibu pertiwi menangis lagi. Bertanyalah pada diri sendiri, sudahkah aku mengenal negeriku, mencintainya, dan menjaganya? (Nrt)

0

Perlukah Kesetaraan Gender?

>

“Lo itu perempuan. Jadi urusan dapur udah jadi kodrat lo lah!”

“Gue kan laki-laki, jadi lo harus nurut sama Gue”

“Perempuan tuh gak boleh lebih hebat dari laki-laki”

“Laki-laki yang harus nyari nafkah. Perempuan di rumah aja, ngurus anak. Itu kodrat”

“Ngapain sih ikut campur urusan laki-laki?”


Hmm…Akrabkah teman-teman dengan kalimat-kalimat tersebut? Saya yakin jawabannya IYA.


Lalu, pernahkah teman-teman berfikir bahwa budaya patriarki yang terlanjur melekat pada pribadi orang Indonesia secara langsung dan tidak langsung membuat kesenjangan gender?


Kenapa bisa ada kalimat-kalimat yang saya contohkan di atas? Sebenarnya, alasannya sangat klasik: KODRAT. Bagi saya, sebuah kesalahan besar jika hal-hal semacam itudidasarkan pada kodrat. Kutipan yang saya contohkan di atas merupakan konstruksi yang dikodratkan, bukan kodrat.


Lalu, apa sebenarnya kodrat perempuan itu? Kodrat perempuan adalah memiliki rahim. Dari rahim tersebut, akan tumbuh nafas seorang bayi. Perempuan tak dapat mengelak dari kodratnya yang harus menstruasi setiap bulan dan melahirkan seorang anak. Namun, menjadi ibu rumah tangga, takluk terhadap laki-laki, dan memasak di dapur bukanlah kodrat melainkan suatu PILIHAN.


Intinya, sekarang bukan zamannya lagi perempuan harus hidup di bawah ketiak laki-laki. Perempuan juga harus berani keluar dari zona nyamannya. Perempuan tidak bisa tinggal terus dan terkurung dalam kotak sabun. Namun apa yang saya maksudkan disini bukanlah sebagai bentuk pembangkangan terhadap kaum adam. Ini hanya merupakan bentuk keprihatinan terhadap para perempuan yang sering tertindas oleh mereka yang mengatasnamakan kodrat.


Sebenarnya, banyak hal-hal yang bisa dilakukan seorang perempuan, tentunya dengan melihat potensi yang ada pada diri sendiri kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Yang jelas kaum perempuan saat ini tidak harus minder atau malu dengan keterbatasannya, tapi lebih mengedepankan potensi yang dianugrahkan kepadanya.


Apapun bentuknya, tetesan peluh dari seorang perempuan tidak akan menguap sia-sia. Kehidupan yang kian getir, menjadikan para perempuan harus berjuang demi mewujudkan mahakarya dalam kehidupannya, seperti mereka sendiri yang terlahir sebagai mahakarya Sang Pencipta.


Buka mata, guys! Kesetaraan gender itu perlu ditegakkan, karena di mataNya, kita adalah sama. (Nrt)

Back to Top